Fenomena Quiet Quitting pada Guru: Isu Kesejahteraan dan Beban Administrasi

Fenomena Quiet Quitting, yang didefinisikan sebagai bekerja hanya sesuai batasan deskripsi tugas tanpa usaha ekstra, kini merambah profesi guru. Guru-guru yang mengalami tekanan hebat, terutama setelah masa pandemi, memilih untuk menarik diri secara psikologis. Mereka membatasi energi dan waktu agar sesuai dengan kompensasi dan deskripsi pekerjaan resminya.

Inti permasalahan yang memicu di kalangan guru adalah beban kerja yang tidak seimbang. Tuntutan utama mereka adalah mendidik siswa, tetapi waktu dan fokus mereka tergerus oleh tugas-tugas administratif yang berlebihan. Hal ini menciptakan ketegangan antara tanggung jawab utama dengan realitas tuntutan birokrasi.

Beban administrasi, mulai dari penyusunan RPP detail, pelaporan, hingga berbagai pengarsipan, sering kali dinilai tidak proporsional. Tugas-tugas ini tidak secara langsung berhubungan dengan peningkatan kualitas pembelajaran, namun menyita waktu guru yang berharga. Minimnya apresiasi atas upaya ekstra menjadi pendorong kuat ini.


Dampak langsung dari fenomena Quiet Quitting ini adalah menurunnya kualitas interaksi di kelas. Guru yang secara psikologis telah menarik diri cenderung kurang bersemangat, tidak berinovasi, dan tidak memberikan perhatian lebih kepada siswa yang membutuhkan. Potensi kehilangan talenta dan semangat ini sangat merugikan ekosistem pendidikan.


Artikel ini menekankan bahwa Quiet Quitting pada guru adalah sinyal darurat tentang kesejahteraan mereka. Penggunaan kata kunci “Quiet Quitting” yang berulang bertujuan untuk memastikan artikel ini mudah ditemukan oleh mereka yang mencari solusi atas permasalahan ini.


Upaya untuk mengatasi Quiet Quitting harus fokus pada dua hal: meringankan beban administrasi dan meningkatkan kesejahteraan guru. Pihak sekolah dan pemangku kebijakan perlu mengevaluasi kembali prosedur pelaporan agar lebih efisien dan berbasis digital. Kurangi tugas yang bersifat repetitif dan tidak esensial.


Selain pengurangan beban, apresiasi dan pengakuan atas dedikasi guru harus ditingkatkan. Pengakuan yang nyata, baik dalam bentuk kompensasi yang layak, jalur karier yang jelas, maupun dukungan kesehatan mental, dapat mengembalikan work life balance dan memicu kembali gairah mengajar.


journal.pafibungokab.org

learn.pafipemkotkerinci.org

news.pafipemkotpalopo.org