Kecemasan Eksistensial di Ruang Kelas: Mengapa Siswa SMA Terlalu Cepat Mempertanyakan Tujuan Hidup

Fenomena Kecemasan Eksistensial kini tak lagi terbatas pada kalangan dewasa; ia mulai merayap di ruang kelas SMA. Siswa pada fase transisi ini dihadapkan pada tekanan akademik dan sosial yang ekstrem, memicu pertanyaan mendasar tentang tujuan hidup mereka. Kurikulum yang padat dan tuntutan prestasi seringkali menggeser waktu refleksi, membuat pencarian makna menjadi beban yang menekan.

Perkembangan kognitif remaja, khususnya kemampuan berpikir abstrak, membuat mereka mulai menyadari kefanaan dan kebebasan mutlak dalam menentukan masa depan. Pemikiran kritis ini, yang seharusnya konstruktif, justru menjelma menjadi Kecemasan Eksistensial ketika dihadapkan pada ketidakpastian dunia pasca-sekolah. Mereka merasa terdesak untuk segera mendefinisikan diri dan memilih jalur karier yang “benar”.

Tekanan sosial dan media digital turut memperparah kondisi. Eksposur tanpa batas terhadap pencapaian orang lain di media sosial menciptakan perbandingan yang tak realistis. Siswa merasa tertinggal atau gagal bahkan sebelum mereka benar-benar memulai, sebuah beban ekspektasi yang menciptakan jurang antara realitas diri dan idealitas publik.

Pola asuh yang terlalu fokus pada hasil (nilai) ketimbang proses (pembelajaran) juga berkontribusi pada Kecemasan Eksistensial. Ketika nilai menjadi satu-satunya tolak ukur keberhasilan, siswa kehilangan motivasi intrinsik dan merasa tujuan mereka hanya sebatas memenuhi harapan orang tua atau guru, bukan makna yang autentik dari dalam diri.

Di ruang kelas, guru dan sekolah memegang peranan penting. Mereka perlu menyediakan ruang aman untuk diskusi filosofis tentang makna hidup tanpa penghakiman. Mendorong siswa untuk merangkul ketidakpastian sebagai bagian dari perjalanan dan bukan sebagai kegagalan adalah kunci dalam mengelola Kecemasan Eksistensial yang dirasakan oleh para remaja.


Kurikulum yang lebih terintegrasi dengan pengembangan karakter dan keterampilan hidup dapat menjadi solusi. Pelajaran tidak hanya harus mengajarkan apa yang harus dipikirkan, tetapi juga bagaimana cara berpikir tentang kehidupan. Memberi kesempatan eksplorasi minat tanpa iming-iming hasil akhir dapat membantu siswa menemukan nilai pribadi mereka.


Penting untuk membedakan antara kecemasan normal terkait masa depan dan Kecemasan Eksistensial yang mengganggu fungsi sehari-hari. Jika kecemasan tersebut mulai menyebabkan isolasi, putus sekolah, atau gejala depresi, intervensi profesional sangat diperlukan. Kesehatan mental harus diakui sebagai prioritas dalam ekosistem pendidikan.

journal.pafibungokab.org

learn.pafipemkotkerinci.org

news.pafipemkotpalopo.org