Wacana pemerintah untuk kembali memberlakukan sistem penjurusan (IPA, IPS, Bahasa) di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan, termasuk pakar pendidikan tinggi. Jika sebelumnya Kurikulum Merdeka memberikan keleluasaan bagi siswa untuk memilih mata pelajaran sesuai minat dan bakat, kini rencana pengembalian sistem lama justru menimbulkan pertanyaan besar mengenai arah kebijakan pendidikan di Indonesia.
Pakar kebijakan publik Universitas Brawijaya (UB), Andhyka Muttaqin, mengungkapkan kekhawatirannya terkait rencana ini. Menurutnya, perubahan kebijakan yang terkesan bolak-balik dan terjadi dalam waktu yang relatif singkat sejak implementasi Kurikulum Merdeka, dapat memunculkan kesan bahwa sistem pendidikan nasional tidak memiliki visi dan arah yang jelas. Inkonsistensi ini dinilai berpotensi menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian di kalangan siswa, guru, dan orang tua.
“Setiap kali ada perubahan kepemimpinan di Kemendikbudristek, seolah-olah terjadi ‘reset’ besar-besaran pada kebijakan yang sudah berjalan. Ini tentu menimbulkan pertanyaan, sebenarnya kita ini mau membangun sistem pendidikan seperti apa?” ujar Andhyka, seperti dikutip dari berbagai sumber. Ia menambahkan, implementasi Kurikulum Merdeka yang baru berjalan beberapa waktu seharusnya dievaluasi secara mendalam terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan untuk kembali ke sistem penjurusan.
Andhyka menilai, semangat Kurikulum Merdeka yang memberikan fleksibilitas dalam pemilihan mata pelajaran bagi siswa sebenarnya memiliki potensi untuk mengakomodasi keberagaman minat dan bakat peserta didik. Dengan memberikan kesempatan siswa untuk mengeksplorasi berbagai bidang ilmu sebelum menentukan fokus studi di perguruan tinggi, diharapkan dapat menghasilkan lulusan yang lebih termotivasi dan sesuai dengan passion mereka.
Namun, jika sistem penjurusan kembali diterapkan, dikhawatirkan akan mengulang pola lama di mana siswa dipaksa untuk memilih jurusan di usia yang relatif dini, seringkali tanpa pemahaman yang mendalam tentang potensi dan minat diri. Keputusan yang terburu-buru ini berpotensi membatasi ruang eksplorasi siswa dan bahkan menghambat perkembangan potensi mereka di masa depan.
Lebih lanjut, Andhyka menekankan pentingnya melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam merumuskan kebijakan pendidikan yang berkelanjutan. Diskusi yang melibatkan praktisi pendidikan, akademisi, guru, siswa, dan orang tua akan menghasilkan perspektif yang lebih komprehensif dan kebijakan yang lebih matang serta berorientasi pada kepentingan terbaik peserta didik.