Praktik joki ujian merupakan salah satu bentuk kecurangan akademik yang sangat merugikan dan merusak prinsip keadilan dalam dunia pendidikan. Ini melibatkan seseorang yang menggantikan posisi siswa untuk mengerjakan soal ujian. Keberadaan ini mencoreng integritas sistem evaluasi dan mengancam meritokrasi, di mana seharusnya kemampuan individu yang menentukan hasil.
Jasa joki ini seringkali digunakan pada ujian-ujian penting yang menentukan masa depan seseorang. Contohnya, pada ujian masuk perguruan tinggi, di mana persaingan sangat ketat, bisa memberikan keuntungan tidak adil bagi individu yang menggunakannya. Hal ini membuat mereka yang belajar keras dan jujur merasa dirugikan dan tidak dihargai.
Selain ujian masuk perguruan tinggi, juga kerap ditemukan dalam seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Dalam kasus ini, kecurangan tidak hanya merusak integritas ujian, tetapi juga mengancam kualitas aparatur negara yang akan direkrut. Calon pegawai yang tidak kompeten bisa lolos hanya karena bantuan joki, merugikan pelayanan publik di masa depan.
Bahkan, juga bisa terjadi pada ujian sekolah penting, seperti ujian akhir semester atau ujian kelulusan. Meskipun mungkin skala kecurangannya lebih kecil dibandingkan ujian nasional atau seleksi besar, dampaknya tetap sama: merusak motivasi belajar siswa dan menciptakan lingkungan akademik yang tidak sehat, sehingga siswa tidak jujur.
Modus operandi ini bervariasi. Ada yang melibatkan penggantian identitas secara fisik, di mana joki menyamar sebagai siswa yang seharusnya mengikuti ujian. Ada pula yang menggunakan teknologi canggih untuk menyalurkan jawaban dari luar ruang ujian. Ini adalah salah satu kecurangan yang semakin sulit dideteksi tanpa pengawasan ketat.
Dampak dari praktik joki sangat merusak. Selain menciptakan ketidakadilan, ia juga dapat menurunkan kualitas lulusan yang dihasilkan. Individu yang lulus dengan cara curang mungkin tidak memiliki kompetensi yang memadai untuk peran yang akan mereka emban, baik di dunia pendidikan maupun profesional. Ini merugikan semua pihak yang terlibat.
Untuk memerangi praktik joki, diperlukan penegakan hukum yang tegas dan pengawasan yang berlapis. Teknologi pengenalan wajah atau sidik jari dapat digunakan untuk memverifikasi identitas peserta ujian. Selain itu, pemberian sanksi berat bagi pelaku dan pengguna jasa joki, tanpa pandang bulu, juga harus diterapkan.
Penting juga untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran dan etika sejak dini di lingkungan pendidikan. Kesadaran bahwa hasil yang diperoleh melalui kecurangan tidak akan membawa kebaikan jangka panjang harus terus disosialisasikan. Dengan demikian, diharapkan praktik joki dapat diberantas, dan prinsip keadilan serta meritokrasi dapat ditegakkan sepenuhnya dalam sistem pendidikan dan seleksi.